KH Turaikhan Adjuhri (rh); Ahli Falak dari Kudus

LEGENDA astronomi Islam Indonesia itu bernama KH Turaikhan Adjuhri. Ia kiai sederhana yang mewarisi tradisi matematika dan fisika yang dikenal luas di dunia pesantren Indonesia.

Meski ia menolak disebut ahli falak-ilmu perbintangan dalam Islam untuk menentukan arah kiblat, waktu shalat, dan tanggal mulai serta berakhirnya bulan-bulan dalam tahun Hijriah-para ahli falak tak pernah alpa merujuk namanya.

Ia lahir dan wafat di Kudus, jauh dari gemerlap borjuasi kiai-kiai politik, dan justru membuat jarak politik melalui falak. Ia pergi meninggalkan Almanak Menara yang oleh ahli astronomi disebut sebagai kalender paling presisif.

Angka-angka dalam perhitungan kalender itu adalah rumus abadi bagi para santrinya. Angka-angka yang pada zaman pra-Islam telah melambungkan nama Hermes Trismegistos, seorang mistisis angka yang disebut Annemarie Schimmel dalam Misteri Angka-angka sebagai Nabi Idris.

Dengan matanya yang telanjang, kecuali lensa minus dan teropong teodolit temuan Lippershey, tiap menjelang Ramadan ia berdiri di pesisir pantai mengintip bulan pada saat matahari di ufuk barat tergelincir meninggalkan sore. Dalam Islam peristiwa itu disebut sebagai rukyah atau menatap hilal (semburat bulan), sebuah metamorfosa peralihan tanggal dari bulan Syakban ke Ramadan. Apa yang dilihatnya menjadi fatwa kapan dimulainya puasa Ramadhan bagi nahdliyin.

Tahun ini adalah enam Ramadan tanpa KH Turaikhan Adjuhri, sepeninggal dia pada 1999. Ia meninggalkan empat anak dan mewariskan keahlian falak pada salah satu putranya yang bernama Sirril Wafa’ yang kini menetap di Jakarta. Kiai itu juga meninggalkan dua santri kesayangan, yakni KH Nur Ahmad Kriyan di Jepara dan KH Ma’sum Rosyidi di Kudus. Melalui Sirril Wafa’, Almanak Menara tiap tahun dicetak dan menghiasi ruang tamu kiai-kiai NU dan para pengikutnya.

Turaikhan adalah Galileo Islam Indonesia. Ia menjadi duri bagi stabilitas pemerintah dan ”diadili” pada 1990 karena menentukan waktu Idul Fitri yang berbeda dari Pemerintah. Ia juga menentang maklumat pemerintah yang menyeru agar masyarakat bersembunyi di rumah-rumah ketika gerhana matahari dengan menganjurkan umat melihat gerhana dan mendirikan shalat istisqa.

Turaikhan adalah kisah kecil dari pembangkangan kaum astronom dalam menghitung waktu. Kisah besarnya adalah Galileo yang terpenjara di Kota Arcetri, Italia, pada 1632 karena menebar mazab heliosentrisme-bahwa matahari adalah pusat semesta alam-seperti ditulisnya dalam Script Dialogue. Ia subversif terhadap doktrin gereja di bawah otoritas Paus Urbanus yang geosentrisme. Jika Galileo penyokong Copernicus, Turaikhan adalah penyokong Syekh Husein Zaid al-Misro, pengarang kitab Al-Mathla’ul Sa’id dari Mesir yang banyak memengaruhi pemikirannya.

Ilmu falak adalah ilmu waktu. Dunia bisnis mengenal waktu sebagai uang. Jawa memberi nama pawukon dalam kalender Saka dan Islam mengenal waktu sebagai ibadah. Bagaimana menentukan waktu untuk shalat dan puasa, ilmu falak memberikan jawabannya.

Seperti planet-planet yang terus berotasi, waktu pun tak pernah berhenti berputar. Namun, waktu seakan-akan berhenti berputar lima tahun lalu ketika Turaikhan mangkat pada Kamis yang cerah. Ia disemayamkan dengan damai di dekat makam Sunan Kudus, dengan ribuan umat yang menghujani air mata di sepanjang Jalan Menara. Keranda yang membungkus jenazahnya seakan-akan berjalan sendiri hingga ke liang lahat karena ribuan pelayat yang menyesaki jalan tak memberi ruang gerak bagi para pengusung keranda. Keranda jenazah pun bergerak dari tangan santri ke tangan santri lain.

Mengenang Ramadan sama dengan mengenang Turaikhan Adjuhri yang berdiri di pesisir pantai melihat bulan menjelang Ramadan. Sesedih umat Islam ketika Ramadan hampir tanggal, sesedih itu pula umat Islam meratapi kepergian sang syuhada dan ahli falak: KH Turaikhan Adjuhri. (90e)

– Penulis adalah Sekretaris Yayasan Pembina UMK dan Public Relations Pura Group Kudus

Sumber : Suara Merdeka, 5 Oktober 2004

2 Tanggapan

  1. Dear All,

    Assalamualaikum Wr. Wb.

    Syahdan konon kabarnya ahli falak Islam tidak cuma bisa menghitung arah iblat, waktu shalat, hilal dll. Bahkan dapat menghitung kapan daun diatas pohon itu jatuh ke tanah, dalam keadaan kering maupun basah, jatuh tengkurap atau menengadah.

    Bagi saya ini merupakan kecerdasan akal dan spiritual yang tinggi yang dimiliki oleh umat Islam.

    Masalahnya bagaimana mewarisi ilmu ini ? Siapa yang mewarisinya ? Apa Ilmu ini telah ditulis dalam suatu Kitab ? Apa nama kitabnya ? Siapa saja yang boleh mempelajarinya ? Dimana ? Apa syaratnya ?

    Sebagai orang yang beragama Islam saya merindukan Ilmu ini tentunya dengan niat mentauhidkan Allah sebagai satu-satunya sumber Ilmu dan kepadaNya kita berserah diri. Sehingga Iman di hati semakin kokoh tertancap dalam sanubari. Seperti Nabi Ibrahim meminta bukti untuk keyakinan diri.

    Duh Allah …, Tunjukilah jalan hambaMu ini kemana hambaMu mencari.
    Bagi para sahabat, akhwan dan akhwat yang tahu mohon dengan sangat memberi informasi kepada saya yang mencari.

    Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

    M. Ashabul Kahfi Suharto

  2. Reblogged this on BUNKATOMATO.

Tinggalkan komentar